Hubungan ‘Patron Klien’ Dalam Masyarakat Bulukumba Terhadap Potensi Konflik Tenurial Masyarakat Setempat

TLKM.or.id – Masalah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat adalah hal yang menarik menjadi sebuah teropong dalam menganalisis segala sesuatu yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Begitu kuatnya pengaruh hal tersebut menjadi sebuah term yang mampu menjelaskan segala faktor dan gejala yang terjadi terkait masalah sosial termasuk lingkungan. Perhatian besar terkait masalah konflik tenurial di beberapa wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Sulawesi Selatan, perlu kiranya memperhatikan tentang eksistensi sistem sosial yang hadir di tengahnya. Sistem sosial terkait kebudayaan, nilai-nilai, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi pengikat hubungan antar masyarakat adalah unit analisis dalam menjawab masalah tersebut.

Konflik tenurial yang telah terjadi medio beberapa tahun terakhir menjadi permasalah pokok yang mesti dituntaskan pemerintah serta semua pihak masyarakat. Seperti konflik tenurial yang terjadi di salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Bulukumba, konflik tenurial yang belum terselesaikan telah menjadi polemik di daerah tersebut, untuk melihat hal tersebut seperti diterangkan sebelumnya, perlu mengenal nilai-nilai yang hadir di tengah masyarakat. Dalam hal ini setidaknya penulis meninjau salah satu nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat yaitu hubungan Patron Klien, atau dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah Ajjoareng Joa’. Patron (pusat) dalam pengertiannya merupakan posisi yang ditempati oleh pihak-pihak minoritas yang berkuasa atau memiliki pengaruh dalam masyarakat, sedangkan Klien (pihak yang butuh) merupakan pihak yang memberikan pengorbanan dalam bentuk kepatuhan kepada sang patron. Dalam hubungan keduanya, saling melakukan pola timbal balik, contohnya sang klien (Joa’) yang dalam keadaan ekonominya yang kurang, mendapat bantuan penghidupan berupa kepercayaan menggarap tanah/lahan oleh sang patron (ajjoareng), selanjutnya klien memberikan hasil penggarapan lahan tersebut sebagiannya kepada sang pemilik lahan (patron) sesuai dengan ketetapan/perjanjian dalam suasana moral antara kaum kelas atas dan kelas bawah.

Begitu hal tersebut berlaku seterusnya sepanjang terjadi hubungan timbal balik, berupa klien yang mendapat perlindungan/rasa aman dari patron, status dalam masyarakat dan lain-lain. Sebaliknya bagi sang patron mendapatkan pengikut yang dengan sukarela memberikan bantuan. Namun dalam realitas yang berlaku berikutnya, ditunjang dengan tuntutan zaman dan pemenuhan kebutuhan, sirkulasi antara kedua pihak tersebut pun bisa saja terjadi. Pergantian posisi patron-klien memungkinkan terjadi termasuk karena dampak ketidakmampuan salah satu pihak tersebut memenuhi persyaratan untuk tetap menempati posisi patron. Sekilas penjelasan tentang sistem sosial yang berlaku di Kabupaten Bulukumba khususnya tentang hubungan patron-klien. Dari tinjauan tersebut, penulis sekiranya mampu menjelaskan tentang faktor konflik tenurial setempat.

Dari proses patron klien, melihat pola yang terjadi dimana sang klien (Joa’) yang diberikan penghidupan berupa tanah garapan, yang kemudian dijadikan sebagai tanah tempat tinggal dalam kurun waktu yang cukup lama, sampai pada beberapa generasi berikutnya, sehingga memungkinkan adanya perasaan kepemilikian atas tanah yang mereka tempati dalam kurun waktu tersebut, didukung oleh pengaruh sang patron semula yang pada akhirnya juga mengalami penurunan disebabkan oleh beberapa hal, menyebabkan pada akhirnya konflik tenurial setempat menjadi potensial terjadi. Sang klien (joa’) yang awalnya merupakan abdi bagi sang patron (ajjoareng) dengan pemberian wewenang untuk menggarap lalu melakukan bagi hasil dengan nominalisasi tertentu serta menempati tanah tersebut dalam kurun waktu cukup lama menjadikan tanah garapan tersebut menjadi kepemilikan sang klien beserta keluarganya. Dan sangat menarik bagi penulis untuk melihat hubungan patron klien dalam masyarakat tersebut dalam perspektif lain, mampu mempengaruhi potensi konflik tenurial yang ada di Kabupaten Bulukumba.

Salah satu contoh terjadi di sebuah desa di bulukumba tepatnya di dusun sampeang kecamatan rilau ale. menurut sejarah yang di dapatkan dari salah satu  warga  sekitar menjelaskan bahwa “ diolo itu engka di aseng Andi Ato inaritu mega lahanna na iya na suruh jamai ri tau pendatang e makkokko ri kamponge iyaritu di aseng Jamal , naia mattaung taung ittana Jamal sang klien ( joa ) nakelolai iyanaritu lahanna Andi Ato lettu malasa na lisu ko ripuang allahu swt dena’ naa sempat na urusu iyanritu batasan batasan tegae punana Andi ato,mega warga na ulle mancaji sassi tapi pihak pole ri A.ato deggaga mateedde elo mappasiloloneng iyanaritu na pineddiniki Jamal naseng alena punna nasabah alena gare kelolai lahan e mappulo pulo taung ittanna ,narekko lisu tonni Jamal ko ri puang eee na lanjukkan sii ana’na .”

“Dulu itu ada sang patron( ajjoareng ) bernama Andi Ato dia adalah salah seorang yang memiliki banyak lahan dan dia memberikan kepada salah seorang sang klien( joa )yang merupakan pendatang dari kampung itu,namun beberapa lama kemudian ketika lahan itu dikelola oleh Jamal sang klien ( joa ) bertahun tahun,suatu ketika ia terjatuh sakit sampai Andi Ato si pemilik lahan ini meninggal dunia dan pada saat itu sebelum sang patron (ajjoareng) meninggal dunia ia tidak sempat mengurus lahan tersebut tentang batasan batasan kepemilikan meskipun banyak warga sekitar yang menjadi saksi namun karena tidak kekuatan dari pihak Andi Ato sang patron ( ajjoareng ) sehingga   ia merasa bahwa ialah yang memiliki lahan itu  dengan alas an bahwa selama bertahun tahun ia yang mejaga , merawat, mengelola lahan itu dan sampai saat ini Jamal sang klien ( joa ) dan keluarganya  yang memiliki lahan tersebut ,dan sewaktu waktu ketika Jamal sang klien( joa ) meninggal dunia ini akan di teruskan lagi kepada generasinya”.

Dari peristiwa yang terjadi, menyebapkan timbulnya beberapa faktor yang memicu terjadi konflik tenurial masyarakat setempat yang di maksudkan adalah tidak adanya batasan batasan kepemilikan lahan serta sesuatu yang dapat menjadi bukti nantinya dalam hal ini bisa berupa (perjanjian hitam di atas putih) yang kemudian di sepakati bersama dan di sertakan seseorang yang menjadi saksi. Namun, suatu ketika konflik tenurial ini terjadi kembali antara pihak dari sang patron (ajjoareng) dan pihak sang klien (joa’) maka dapat dengan mudah terselesaikan dengan bukti yang ada. Masih banyak faktor penyebap terjadinya konflik tenurial di dalam masyarakat bulukumba tetapi faktor inilah yang marak terjadi di kalangan masyarakat setempat, Namun sebenarnya hal ini dapat pula terselesaikan melalui jalur hukum.

SHARE POST