Adaptasi Sosio-ekologi Masyarakat Toraja Utara Terhadap Longsor

TLKM.or.id – Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) lanjutkan survey atau pengambilan data terkait adaptasi sosio-ekologi masyarakat di Toraja Utara dalam hadapi bencana alam. Pasca bencana longsor masyarakat di wilayah Sa’dan Ulu Salu menanami lokasi longsoran dengan beberapa jenis pohon. TLKM bertujuan untuk mengumpulkan data baik dari titik rawan bencana maupun adaptasi sosio-ekologi masyarakat Bersama pihak yang terlibat agar kedepannya TLKM bekerjasama dengan beberapa instansi dalam perumusan masalah bencana alam yang diahadapi saat ini di Toraja Utara.

Masyarakat melakukan penanaman pohon dengan berbagai jenis campuran yakni, jenis Uru, Buangin, Pisang, Nibung, Bambu dan Pinus pada area yang sama. Pola penanaman yang mereka terapkan adalah teknik wanatani (agroforestry). Cara tersebut adalah salah satu upaya konservasi tanah dan air, sehingga energi kinetik air hujan dapat dikurangi dan air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi.

Pada daerah aliran Sungai Sa’dan dilakukan pembuatan talud, namun beberapa talud yang terletak di dekat SMP 5 Sa’dan sudah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut terjadi akibat besarnya aliran yang menghantam talud. Batu-batu bekas pembuatan talud tersebut berserakan hingga ke dasar sungai. Hal ini menyebabkan erosi menjadi semakin parah dan mengancam keberadaan gedung sekolah.Untuk melindungi rumahnya dari bencana banjir dan lonsor, warga memasang talud dari beton secara pribadi.

Tidak hanya itu, masyarakat juga mendatangkan 2 unit Eskavator untuk mengeruk material yang menimbun sawah. Namun hal tersebut hanya dilakukan pada timbunan material yang cukup tipis atau tidak keseluruhan. Dikarenakan mahalnya biaya sewa yang harus dibayar para petani yaitu Rp.650.000 per jam. Kegiatan ini terjadi melalui koordinasi antara Kepala Lembang dan masyarakat korban longsor.

Sejak dahulu masyarakat Toraja Utara banyak yang memilih merantau kebeberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi dan keterampilan menggarap lahan yang relatif minim, padahal kebutuhan masyarakat Toraja Utara terbilang sangat tinggi khususnya untuk upacara adat. Keluarga yang tinggal di Lembang, lebih banyak bergantung pada sanak yang ada di perantauan.

Longsor yang menyebabkan sawah tertimbun membuat mereka hanya perlu membeli kebutuhan dari luar. Pasalnya, padi yang dipanen setiap dua kali setahun hanya ntuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain sawah, beberapa masyarakat mengembangkan komoditas lain seperti kopi dikebunnya. Sehingga ketika sawah tidak dapat digarap, mereka fokus mengelola komoditas tersebut, msekipun secara aksesibilitas lebih jauh dari pada sawah yang dirusak longsor.

Tidak banyak upaya yang dilakukan warga untuk mencegah terjadinya longsor susulan. Selain pohon, masyarakat menaman rumput dan ubi yang dapat mengurangi terjadinya erosi dan menghalangi air hujan langsung masuk kepermukaan tanah. Disekitar rumah warga Lembang Sa’dan Ulusalu umumnya ditemukan pohon-pohon seperti Uru dan Nibung untuk mengikat tanah agar rumah mereka tidak terbawa longsor.

Tidak ingin tinggal diam, Dinas Kehutanan memberikan sosialisasi terkait pentingnya menjaga hutan di Lembang Sa’dan Ulusalu dan memberikan bibit tanaman berupa Pinus (Pinus merkusii), Buangin (Casuarina junghunia), dan Uru (Elmeria spp.). Bibit yang diberikan sebagai upaya untuk mencegah longsor dan mengurangi erosi tanah. Khusus untuk penanggulangan banjir dan erosi sungai, Dinas Kehutanan sudah melakukan pemasangan talud dibeberapa wilayah.

SHARE POST